Sekian tahun silam, kondisi sepintas Desa Tegalwaru, Ciampea, Kabupaten Bogor, seperti desa-desa lainnya. Di sana, memang sudah ada 10 UKM, tapi produknya biasa saja dan tidak ada sesuatu yang unik. Namun, berkat usaha keras Tatiek, Desa Tegalwaru berubah menjadi desa wisata, yang oleh Tatiek disebut Kampoeng Wisata Bisnis Tegalwaru (KWBT).
“Kini, banyak tamu yang berkunjung ke desa kami. Pemasaran produk pun makin meluas ke beberapa daerah, bahkan sampai ke luar negeri. Di Tegalwaru sudah memiliki lebih dari 15 produk yang diproduksi para pelaku UKM. Dulu, pelaku UKM bergerak sendiri-sendiri. Sekarang pemasaran bisa dilihat di web danmedia sosial lainnya. Ditambah lagi, berbagai media juga menayangkan produk desa kami,” ujar Tatiek yang warga asli Desa Tegalwaru.
Dalam sebulan, KWBT dikunjungi ribuan orang , bahkan wisa-tawan dari luar Jawa. Banyak pula yang datang berombongan mulai dari anak-anak sampai karyawan perusahaan. “Di KWBT, para wisatawan dapat belajar dan melihat langsung proses produksi dari sebuah usaha berbasis home industry. Misalnya saja saat liburan sekolah lalu, rombongan pelajar SD melihat proses pembuatan kerupuk. Anak-anak pun berkesempatan ikut membuat kerupuk,” jelas Tatiek.
Selain itu, masih banyak lagi yang bisa disaksikan pengunjung di desa yang memiliki 6 RW dan 38 RT ini. Antara lain melihat proses usaha budidaya jamur tiram, tanaman obat, membuat tas, usaha kerajinan daur ulang kertas, budidaya ikan patin, nata de coco, dan lain-lain.
“Di tempat Tanaman Obat, pengunjung diajak jalan-jalan melihat berbagai tanaman obat. Mereka juga mendapat penjelasan khasiat dari masing-masing tanaman,” papar Tatiek seraya mengatakan bahwa KWBT juga menyelenggarakan berbagai pelatihan usaha .
Selain wisata bisnis, di Tegalwaru juga menyajikan outbond dengan berbagai sarana permainan tradisional yang kini sudah langka. Misalnya saja galah asin, gobak sodor, engrang, petak umpet.
“Kalau mau, anak-anak wisatawan juga bisa mandi di sungai yang airnya masih jernih, memancing ikan, dan makan ikan bakar. Lalu, pengunjung juga bisa menyaksikan kesenian Sunda, yaitu musik kecapi dan pertunjukan wayang golek,” tutur Tatiek.
Status sebagai kampung wisata pun membuat usaha pelaku UKM meningkat. Dalam satu bulan, putaran uang bisa mencapai miliaran rupiah. Ekonomi masyarakat pun menggeliat.
Memetakan Masalah
Tentu langkah yang dilakukan Tatiek tak semudah membalik telapak tangan. Butuh ketekunan, kerja keras, dan semangat pengabdian. “Sebenarnya, tujuan awal saya ingin memberikan inspirasi ke masyarakat tentang bisnis-bisnis yang berbasis home industry. Selama ini banyak pelatihan yang hanya memberikan training berbentuk teori,” ujar Tatiek yang sebelumnya beberapa kali mengikuti pelatihan social entrepreneur.
Tidak hanya membekali teori, Tatiek ingin menunjukkan langkah konkret. Lewat Yayasan Kuntum (Kreativitas Usaha Unit Muslimah) yang didirikannya tahun 2006, “Saya merancang sebuah program yang bisa menginspirasi, sekaligus menjawab kebutuhan masyarakat akan entrepreneur. Saya juga berupaya mendongkrak pemasaran produk UKM Tegalwaru. Alhamdulillah berhasil meski masih banyak tantangan. Antara lain tentang pengembangan produk.”
Langkah-langkah yang dilakukan Tatiek antara lain melakukan pemetaan sosial dan ekonomi beserta masalahnya. Ia bekerja sama dengan kelurahan dan kecamatan untuk menggali data-data tersebut. Selanjutnya, ia mendirikan Koperasi Kampoeng Mandiri.
“Tapi, tidak berjalan sesuai target. Saya tidak belajar sejarah. Ternyata, di Tegalwaru pernah ada koperasi yang tidak amanah sehingga masyarakat sudah merasa tabu.”
Kegagalan tak menyurutkan langkah wanita kelahiran 1 Oktober 1974 ini. Ia terus bersilaturahmi dan melakukan pendampingan, baik dalam bentuk modal usaha, manajemen dan pemasaran produk. Tahun 2010, ia menggagas KWBT.
“Untuk gabung ke KWBT, saya memberikan pelaku UKM MOU kerjasama pelatihan dan sharing training. Saya bekerja sama dengan semua masyarakat untuk mendukung sarana training, misalnya saja penggunaan pendopo dan lapangan.”
Berkat pendekatan yang bagus, mulai dari warga sampai aparat desa dan kecamatan, juga instansi terkait, langkah Tatiek pun mendapat dukungan positif. “Sebelumnya, rata-rata para pelaku UKM kesulitan di bagian pemasaran. Nah, dengan KWBT ini ada solusinya.”
Tentu Tatiek juga mesti membangun UKM yang kokoh di desanya, Ia membentuk kelompok usaha per jenis produk. “Dulu, saya memberikan pendampingan dan modal usaha untuk perajin anyaman besek. Ada 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 20 orang. Lalu, saya membina pedagang warung kecil dan memberikan pelatihan usaha. Sekarang mereka yang sebagian besar ibu-ibu sedang membuat usaha kerajian tangan. Mereka membuat kelompok perajin tas dan mendirikan koperasi tas. Sekarang, mereka enggak tabu lagi dengan koperasi,” jelas Tatiek.
Selain itu, Tatiek semula memprioritaskan usaha yang dalam analisanya punya pasar yang bagus. Dari hasil pemetaannya, “Produk seperti tas, herbal, handycraft, dan beberapa produk lain punya pasar yang bagus. Kelompok-kelompok usaha ini sudah terbentuk. Tinggal pendampingan dan bantuan modal usaha. Saya mengoptimalkan pertemuan bulanan untuk supervisi.”
Gencar Promosi
Agar KWBT dikenal luas, Tatiek gencar melakukan upaya promosi. Baik lewat blog, Facebook, maupun menulis di berbagai media. Karena KWBT memang menjanjikan potensi besar sebagai destinasi wisata nan unik, banyak media yang kemudian meliput.
Nama KWBT pun makin dikenal kalangan luas. Tatiek juga tak keberatan memenuhi undangan untuk mengisi seminar. “Saya pernah diundang beberapa BUMN, universitas, sampai pembinaan TKW di Hongkong,” kata Tatiek.
Upaya yang dilakukan Tatiek membuahkan hasil. Pelan tapi pasti wisatawan tertarik mengunjungi KWBT. Ada yang sekadar refreshing, belajar, sampai studi banding. Yang membesarkan hati Tatiek, “Dari hasil penelitian seorang mahasiswa untuk skripsinya, pengunjung puas setelah mengunjungi KWBT. Banyak juga yang mengaku terinspirasi. Namun, saya sadar, dari sisi infrastruktur masih perlu dibenahi,” papar Tatiek seraya menjelaskan pengunjung bisa menginap di vila joglo.
Tatiek lebih berlega hati ketika melihat upayanya untuk menaikkan perekonomian warga sudah mulai berbuah. “Produk masyarakat, kan, sudah makin dikenal. Omzet pun meningkat. Kami bisa mandiri mendirikan sekolah untuk anak yatim piatu di Desa Tegalwaru. Mereka mendapatkan skill bisnis dan modal usaha gratis. Meski begitu, saya tak boleh cepat berpuas. Masih banyak pekerjaan rumah tentang kualitas produk dan pemenuhan bahan baku,” ujar Tatiek yang bekerja sama dengan beberapa pihak untuk mengembangkan KWBT.
Untuk langkah ke depan, Tatiek ingin mengadopsi program ini untuk diterapkan di desa-desa lain di seluruh Tanah Air. Ia ingin membuat sekolah paket C untuk para warga yang belum menyelesaikan sekolah. Ia juga ingin mengembangkan STIEM Bisnis Indonesia di Tegalwaru.
“Sekarang sudah berdiri, tinggal mencari mahasiswanya,” ujar perempuan berlatar pendidikan D3 Fakultas Teknologi Pertanian IPB , Akta 4 IKIP Jakarta, dan Social Entreperneur Leader ini.
Tatiek merasa beruntung langkahnya didukung penuh suami tercinta, Herman Budianto. “Peranan suami sangat besar. Suami seperti sutradara di balik kinerja yang saya lakukan. Kami sama-sama aktif bekerja di LSM. Jadi, visinya sama dalam membangun pemberdayaan masyarakat. Kami berbagi peran, saya fokus pemberdayaan ekonomi, suami fokus untuk pembinaan motivasi dan spiritual,” tutur ibu tiga anak ini.
Tatiek pun mendidik anak-anaknya mandiri sejak kecil. Antara lain mengajari berbisnis sejak kecil. “Saya beri kepercayaan anak-anak untuk jualan es nata de coco di sekolah. Mereka belajar dapat uang dari hasil keringat sendiri. Sekarang yang besar, Fatih, sudah SMA kelas 2. Dia terlihat mengelola bisnis program IT. Nomor dua Azzam, kelas 3 SMP hobi main bola. Lalu si bungsu Khansa kelas 5 SD. Dia berbakat jadi fotografer dan membuat aneka handycraft. Dia juga enggak malu jualan di sekolah.”
Lewat KWBT Tatiek pun merasa bahagia, hidupnya menjadi berkah bagi sesamanya. “Mangga, wilujeng sumping di Kampoeng Wisata Bisnis Tegalwaru.”
Henry Ismono, Foto: Dok Pribadi
Sumber : Nova